Manyarahnya Japang: Pabidaan ralatan

Konten dihapus Konten ditambahkan
Volstand (pandir | sumbangan)
Kadada kasimpulan babakan
Volstand (pandir | sumbangan)
Kadada kasimpulan babakan
Baris 40:
 
Kaisar [[Hirohito]] dan [[Penjaga Cap Pribadi Kaisar]] [[Kōichi Kido]] juga hadir di beberapa pertemuan, setelah diminta Kaisar.<ref>Peran sebenarnya kaisar telah menjadi bahan perdebatan sejarah. Sebagian dari bukti-bukti kunci dihancurkan pada hari-hari menjelang kapitulasi Jepang dan berawalnya pendudukan Sekutu. Beberapa sejarawan berpendapat Kaisar Hirohito hanyalah kepala negara tanpa kekuasaan, sementara sejarawan lain berpendapat kaisar ikut berperan di belakang layar. "Tidak ada satu pun dari kedua pendapat yang saling bertolak belakang tersebut benar" dan kebenaran kira-kira berada di antara keduanya. — Frank, 87.</ref> Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang yang terjadi karena didirikannya gerakan Zionis yang bertujuan untuk mendirikan negara mereka"<ref>{{cite book|author=Iris Chang|title=The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II|url=http://books.google.com/books?id=s65PF7g5vk0C&pg=PA177|year=2012|publisher=Basic Books|page=177}}</ref><ref>For more details on what was destroyed see {{cite book|author=Page Wilson|title=Aggression, Crime and International Security: Moral, Political and Legal Dimensions of International Relations|url=http://books.google.com/books?id=OLNGgbbskS0C&pg=PA63|year=2009|publisher=Taylor & Francis|page=63}}</ref>
 
== Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin Jepang ==
Kabinet Suzuki, dalam berbagai segi, lebih memilih meneruskan perang. Bagi Jepang, kapitulasi hampir tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.<ref>Alan Booth. Lost: Journeys Through a Vanishing Japan. Kodansha Globe, 1996, ISBN 1-56836-148-3. Page 67</ref> Hanya Menteri Angkatan Laut Mitsumasa Yonai yang diketahui memiliki keinginan untuk mengakhiri perang.<ref>Frank, 92</ref> Menurut sejarawan [[Richard B. Frank]]:
 
:Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian sebagai tujuan jangka panjang, ia tidak memiliki rencana untuk mewujudkannya dalam jangka waktu dekat atau dengan syarat-syarat yang dapat diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior tidak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan berakhirnya perang lebih awal ... ; Pilihan Suzuki untuk pos-pos kabinet yang paling penting, dengan pengecualian satu orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.<ref>Frank, 91–92</ref>
 
Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tetapi secara terbuka tidak dapat mengumumkannya. Mereka mengutip konsep Jepang tentang ''haragei'' (seni berkomunikasi dengan sikap dan kekuatan kepribadian dan bukan melalui kata-kata) untuk membenarkan ketidakselarasan antara tindakan di muka umum dan kegiatan di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. [[Robert Butow|Robert J. C. Butow]] menulis:
:Berdasarkan alasan yang sangat ambigu, pembelaan soal ''haragei'' menimbulkan kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan diri pada ''seni menggertak'' mungkin dapat dianggap sebagai pengelabuan disengaja yang diperkirakan didasarkan keinginan mengadu domba untuk keuntungan sendiri. Walaupun keputusan ini tidak sesuai dengan kepribadian Laksamana Suzuki yang banyak dipuji, pada kenyataannya dari saat ia diangkat sebagai perdana menteri hingga hari ia mengundurkan diri, tidak ada seorang pun yang dapat memastikan apa yang berikutnya akan dikatakan atau dilakukan Suzuki.<ref>Butow, 70–71</ref>
 
Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan paling tidak beberapa wilayah baru yang telah mereka duduki.<ref>[[Strategic Bombing Survey (Pacific War)|United States Strategic Bombing Survey]], ''[http://www.ibiblio.org/hyperwar/AAF/USSBS/PTO-Summary.html Summary report]''. United States Army Air Force. 1 Juli 1946.</ref> Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tidak berjalan dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat mengenai cara-cara terbaik dalam bernegosiasi untuk mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet [[Joseph Stalin]] agar bertindak sebagai mediator penyelesaian perang antara Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras lebih memilih bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" hingga jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka mau menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak.<ref>Frank, 90</ref> Kedua kubu terbentuk berdasarkan pengalaman Jepang dalam [[Perang Rusia-Jepang]] empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian besar yang tidak menentukan pemenang, tetapi diakhiri oleh [[Pertempuran Tsushima]] yang dimenangkan Jepang.<ref>Frank, 89</ref>
 
[[Berkas:Kantaro Suzuki suit.jpg|jmpl|kiri|lurus|Laksamana [[Kantarō Suzuki]] menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum perang berakhir.]]
 
Pada akhir Januari 1945, beberapa pejabat Jepang yang dekat dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang akan melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melalui saluran Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal [[Douglas MacArthur]] menjadi dokumen 40 halaman, dan kemudian, pada 2 Februari, dua hari sebelum [[Konferensi Yalta]], diberikan kepada Presiden [[Franklin D. Roosevelt]]. Menurut laporan, dokumen tersebut ditolak oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin sebagai penguasa boneka. Namun pada saat itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima [[penyerahan tanpa syarat]].<ref>[[Walter Trohan]]. "''[http://pqasb.pqarchiver.com/chicagotribune/access/475703002.html?dids=475703002:475703002&FMT=ABS&FMTS=ABS:AI&type=historic&date=Aug+19%2C+1945&author=WALTER+TROHAN&pub=Chicago+Daily+Tribune+(1872-1963)&edition=&startpage=1&desc=BARE+PEACE+BID+U.+S.+REBUFFED+7+MONTHS+AGO Bare Peace Bid U.S. Rebuffed 7&nbsp;Months Ago]''". ''[[Chicago Daily Tribune]]'', 19 Agustus 1945. Teks lengkap tersedia [http://www.ihr.org/jhr/v06/v06p508_Hoffman.html di sini].</ref> Selain itu, proposal-proposal ini ditolak keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh karena itu tidak dapat dikatakan mewakili keinginan Jepang yang sebenarnya untuk menyerah pada waktu itu.<ref>Pada pesan kepada semua diplomat Jepang tanggal 21 Mei, Menteri Luar Negeri Tōgō membantah Jepang telah menawarkan usulan damai kepada Amerika Serikat dan Inggris — Frank, 112.</ref>
 
Pada Februari 1945, Pangeran [[Fumimaro Konoe]] memberi Kaisar Hirohito sebuah memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila perang diteruskan, kekaisaran akan menghadapi revolusi internal yang lebih berbahaya daripada kalah dalam perang.<ref>Bix, 488–489</ref> Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar [[Hisanori Fujita]], Kaisar yang menunggu pertempuran menentukan (''tennōzan'') menjawab bahwa masih terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membuat satu lagi kemenangan militer."<ref>Hisanori Fujita, ''"Jijûchô no kaisô"'', Chûo Kôronsha, 1987, 66–67</ref> Masih pada bulan Februari tahun yang sama, divisi perjanjian Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang mengenai "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, pelucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman bagi penjahat perang, dan status kaisar."<ref>Hasegawa, 39</ref> Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman bagi penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan jabatan kaisar tidak diterima oleh pimpinan Jepang.<ref>Hasegawa, 39, 68</ref><ref>Frank, 291</ref>
 
Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak akan memperbarui [[Pakta Netralitas Soviet-Jepang]]<ref name="pact">[http://avalon.law.yale.edu/wwii/s1.asp Soviet-Japanese Neutrality Pact], 13 April 1941. ([[Proyek Avalon]] di [[Universitas Yale]])<br />[http://avalon.law.yale.edu/wwii/s2.asp Declaration Regarding Mongolia], 13 April 1941. ([[Proyek Avalon]] di [[Universitas Yale]])</ref> yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya [[Pertempuran Khalkhin Gol|Peristiwa Nomonhan]].<ref>''[http://avalon.law.yale.edu/wwii/s3.asp Soviet Denunciation of the Pact with Japan]''. Avalon Project, Yale Law School. Teks dari United States Department of State Bulletin
Vol.&nbsp;XII, No.&nbsp;305, 29 April 1945. Diakses 22 Februari 2009</ref> Pada [[Konferensi Yalta]] Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet guna mengamankan janji dari Soviet untuk menyatakan perang terhadap Jepang tidak lebih dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlaku hingga setahun setelah Uni Soviet membatalkannya (hingga 5 April 1946), pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.<ref>"[http://www.time.com/time/magazine/article/0,9171,775556,00.html So Sorry, Mr. Sato]". ''[[Time (majalah)|Time]]'', 16 April 1945</ref> Menteri Luar Negeri Rusia [[Vyacheslav Molotov]], di Moskow, dan [[Yakov Malik]], duta besar Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlaku Pakta tersebut belum berakhir".<ref>Slavinskiĭ (halaman 153-4), mengutip buku harian Molotov, menceritakan percakapan antara Molotov dan [[Naotake Satō|Satō]], duta besar Jepang untuk Moskow: Setelah Molotov membaca pernyataan tersebut, Satō "mengizinkan dirinya untuk menanyai Molotov agar dapat memperoleh beberapa klarifikasi", dan mengatakan ia merasa bahwa pemerintahannya mengharapkan agar pada periode 25 April 1945 – 25 April 1946, pemerintahan Soviet tetap mempertahankan hubungan dengan Jepang seperti sebelumnya, "mengingat Pakta tersebut masih berlaku". Molotov mengatakan bahwa "secara faktual hubungan Soviet-Jepang kembali ke situasi saat sebelum adanya Pakta tersebut". Satō melihat bahwa pemerintahan Soviet dan Jepang menginterpretasikan pertanyaannya dengan cara yang berbeda. Molotov menyatakan bahwa "terdapat kesalahpahaman" dan menyatakan bahwa "setelah berakhirnya periode lima tahun tersebut ... hubungan Soviet-Jepang akan kembali ke status quo ante ditetapkannya Pakta tersebut". Setelah diskusi tambahan, Molotov menyatakan: "masa berlaku Pakta tersebut belum berakhir".<br />
Boris Nikolaevich Slavinskiĭ, ''The Japanese-Soviet Neutrality Pact: A Diplomatic History 1941–1945,'' Diterjemahkan oleh Geoffrey Jukes, 2004, Routledge. ([http://books.google.com/books?id=rddhxSKGQ9oC&pg=PA150&lpg=PA150&dq=soviet+neutrality+pact+1941+denounce&source=bl&ots=tj0UgpSAy0&sig=1Hr3Et_42UG1_fM5QYEVD-bLs4s&hl=en&ei=O_1-Ssm8OqD8tget-MnzAQ&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=4#v=onepage&q=soviet%20neutrality%20pact%201941%20denounce&f=false Extracts on-line]). Halaman 153-4.<br />
Kemudian di buku-nya (halaman 184), Slavinskiĭ kemudian merangkum jalan ceritanya:
* "Bahkan setelah Jerman keluar dari perang, Moskow terus mengatakan bahwa Pakta tersebut masih berlaku, dan bahwa Jepang tidak perlu mencemaskan masa depan hubungan Soviet-Jepang."
* 21 Mei 1945: Malik (duta besar Soviet untuk Tokyo) mengatakan kepada Tanakamura bahwa perjanjian tersebut tetap berlaku.
* 29 Mei 1945: Molotov mengatakan kepada Satō: "kami belum merobek pakta tersebut".
* 24 Juni 1945: Malik mengatakan kepada [[Kōki Hirota]] bahwa Pakta Netralitas ... akan berlanjut ... sampai habis masa berlakunya.
Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa Malik tidak mengetahui (tidak mendapatkan informasi) bahwa Soviet mempersiapkan sebuah penyerangan.<br />
Slavinskiĭ, halaman 184.</ref>
 
[[Berkas:Shigenori Togo.jpg|jmpl|ka|Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō]]
Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam anggota Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas cara mengakhiri perang. Namun tidak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara terbuka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira angkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup bagi siapa pun kecuali keenam anggota Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tidak ada perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan hadir.<ref>Frank, 93</ref> Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari kemungkinan sekutu negara-negara Barat sudah membuat konsesi dengan Soviet untuk mengajak mereka berperang melawan Jepang.<ref>Frank, 95</ref> Sebagai hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang untuk mendekati Uni Soviet, meminta mereka untuk tetap mempertahankan netralitas, atau lebih fantastis lagi, mau membentuk aliansi.<ref>Frank, 93–94</ref>
 
Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei selesai, staf Angkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental untuk Diikuti Selanjutnya dalam Melaksanakan Perang" yang menyatakan rakyat Jepang akan berjuang hingga punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni (Tōgō menentangnya, sementara kelima anggota lain mendukung).<ref>Frank, 96</ref> Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan sebagai berikut:
 
<blockquote>Rusia harus diberi tahu dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman adalah berkat Jepang, karena kita tetap netral, dan Soviet akan diuntungkan bila membantu Jepang mempertahankan posisinya di dunia internasional, karena musuh mereka pada masa depan adalah Amerika Serikat.<ref>Toland, John. ''The Rising Sun''. ISBN 0-8129-6858-1. Modern Library, 2003</ref></blockquote>
 
Pada 9 Juni, orang kepercayaan kaisar [[Kōichi Kido]] menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada akhir tahun kemampuan Jepang untuk melakukan perang modern akan habis, dan pemerintah tidak akan mampu mengendalikan kerusuhan sipil. "... Kita tidak tahu pasti apakah kita akan bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam keadaan yang sulit hingga kita tidak dapat mencapai tujuan tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan tata negara nasional."<ref>Frank, 97, quoting ''The Diary of Marquis Kido, 1933–45'', 435–436.</ref> Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil bagian, dengan menawarkan untuk mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah jajahan Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta untuk sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati beberapa anggota Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Angkatan Laut Laksamana [[Mitsumasa Yonai]] keduanya sangat berhati-hati mendukung; masing-masing bertanya dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Angkatan Darat Jenderal [[Korechika Anami]] bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam [[Operasi Downfall#Ketsu-Go|Operasi Ketsu-Go]].<ref>Frank, 97–99.</ref>
 
Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan kepercayaan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam [[Pertempuran Okinawa]]. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan angkatan darat di Cina, begitu pula soal angkatan laut dan angkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari [[Pangeran Higashikuni Naruhiko|Pangeran Higashikuni]]; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan lepas pantai, divisi yang tersedia untuk diterjunkan di pertempuran yang menentukan juga tidak memiliki jumlah senjata yang memadai."<ref name="Frank100" /> Menurut Kaisar:
 
<blockquote>Kita sudah diberi tahu besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan untuk membuat sekop. Hal ini berarti kita tidak berada dalam posisi melanjutkan perang.<ref name="Frank100">Frank, 100, quoting the Emperor's ''Shōwa Tennō Dokuhakuroku'', 136–37.</ref></blockquote>
 
Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam anggota Dewan Penasihat Militer untuk rapat. Tidak seperti biasanya, Kaisar membuka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit untuk mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang ada, akan dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilakukan untuk mengimplementasikannya."<ref>Frank, 102.</ref> Hasil dari pertemuan tersebut adalah mereka menyetujui untuk mengundang bantuan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti [[Swiss]], [[Swedia]], dan [[Vatikan]] dikenal berniat memainkan peranan dalam menciptakan perdamaian, tetapi mereka terlalu kecil hingga mereka tidak dapat melakukan lebih dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan dapat dibujuk untuk bertindak sebagai agen Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.<ref>Frank, 94</ref>
 
==Bahan Acuan==